Selasa, 15 Juni 2010

Di mana Tempat Tinggalmu Kelak?

Di ujung senja yang memerah di gurun, udara masih terasa terik, dan perlahan-lahan mulai sejuk, saat menjelang datangnya malam. Lelaki itu bergegas menuju masjid. Menunaikan shalat Maghrib yang akan menjelang. Ia shalat dua rakaat. Sambil terus berdzikir, air matanya mengalir. “Di mana kelak aku berada?" ucapnya lirih. “Adakah aku akan mendapatkan tempat kemuliaan?” keluhnya.

Lelaki keturunan orang yang mulia itu kaya raya. Segalanya dimilikinya. Kekayaannya tak terhitung. Melimpah. Karena ia pandai berdagang. Semua pedagang berdagang dengannya. Keuntungannya tak henti-henti. Lelaki itu benar-benar sempurna, hartanya terus bertambah. Tetapi, kala senja ia nampak bersedih, menangis, dan terus menangis. Entah mengapa ia menangis? Sejatinya lelaki itu adalah lelaki yang shaleh dan zuhud dalam hidupnya.

Lelaki itu mengerti kelak akhir kehidupannya. Ia mengetahui orang-orang yang memiliki kekayaan dan istana, segalanya tak lagi berguna. Betapa istana yang megah dan mewah itu semuanya akan pupus, di saat datangnya kematian yang harus diterimanya. Betapa akhir kehidupannya itu, manusia hanyalah menempati sebuah tempat, yang tak lebih lebarnya satu meter dan panjangnya dua meter, yang ditutup dengan papan. Itulah kehidupan alam kubur. Siapapun adanya akan mengalami hal seperti itu. Tidak ada perbedaan antara raja dengan orang miskin.

Pakaian yang indah dan halus terbuat dari sutera, menjadi tak lagi berguna, semuanya akan ditanggalkannya. Siapa saja yang mati, hanyalah menggunakan kain kapan. Itulah pakaian kebesaran yang akan digunakan orang-orang sudah mati. Raja, orang kaya, orang miskin, dan jelata, semuanya hanyalah akan menggunakan kain kafan.

Ketika hidup di dunia, si kaya menggunakan kendaraan yang paling mewah, mungkin seekor unta yang paling baik, bulunya mengkilap, gemuk dan kuat. Tetapi, saat ajal tiba, dan kendaraan yang ditumpangi, tak lain hanyalah keranda, yang tak berharga. Inilah satu-satunya kendaraan yang akan mengantarkannya ke tempat terakhir dalam hidupnya.

Tidak ada lagi kesetiaan yang akan selalu menemani. Isteri–isteri yang cantik dan setia, tak akan menemaninya. Dialam kubur ia hanya sendirian. Tanpa siapa-siapa lagi. Kesetiaan hanya dalam kehidupan dunia. Janji hanya dalam kehidupan dunia. Tidak ada seorang suami atau isteri yang betapapun sangat setianya, mau menemaninya di alam kubur. Ia hanyalah sendirian. Sendirian bersama dengan binatang-binatang yang akan menggerogoti tumbuhnya yang sudah tidak dapat melakukan apa-apa.

Lelaki itu terus bertepekur di dalam masjid. Usai shalat Isya’ tak juga beranjak dari duduknya. Terus berdzikir dan bermunajat kepada Allah Azza Wa Jalla. “Di mana aku kelak berada?” keluhnya. Ia sangat kawatir Sang Pencipta murka, dan tidak mau menerimanya, dan menempatkan dirinya di tempat yang hina. “Ya Rabb, ampunilah segala dosa dan khilafku, dan jauhkanlah aku dari fitnah dunia, serta selamatkanlah aku dari siksamu,” keluhnya.

Allah Azza Wa Jalla memberikan karunia kekayaan yang sangat melimpah kepada lelaki itu. Perdagangannya selalu untung. Tanah pertaniannya yang sangat subur, di kelola para budaknya. Makin lama makin maju, dan hartanya semakin bertambah. Tetapi, lelaki itu tak menjadi lupa dan bersenang-senang dengan kekayaan yang dimilikinya. Sikapnya tak pernah berubah. Hartanya yang melimpah tak melupakan dari taqwanya kepada Allah Azza Wa Jalla.

Maka kekayaannya itu dimanfaatkannya untuk kaum muslimin. Kekayaannya dimanfaatkan untuk membangun jalan menuju akhirat. Sehingga, kekayaan itu menjadi indah baginya, karena semakin banyak kekayaan yang dimilikinya, semakin banyak pula sedekahnya kepada fuqara’. Ia tidak sombong, dan melakukan amal dengan sembunyi-sembunyi.

Di saat malam telah tiba, beliau memikul sekarung tepung di punggungnya, keluar menembus kegelapan malam, ketika orang-orang tidur nyenyak. Beliau berkeliling ke rumah para fuqara’ yang tak suka menadahkan tangannya. Pekerjaan itu ia lakukannya, sampai ajal menjemputnya. Tak pernah henti. Mungkin sesuatu yang tak pernah dimengerti oleh siapapun. Tapi, itulah dilakukan oleh seorang yang sudah zuhud terhadap kehidupan dunia.

Tidak heran banyak orang miskin di Madinah yang hidup tanpa mengetahui dari mana jatuhnya rezeki untuk mereka itu. Setelah lelaki itu meninggal mereka tak lagi menerima rezeki itu. Barulah mereka menyadari siapakah sesungguhnya gerangan manusia dermawan itu?

Sewaktunya jenazah lelaki itu dimandikan, terlihat ada bekas hitam dipunggungnya, sehingga bertanyalah mereka yang memandikannya. “Bekas apa ini?” Lalu, diantara yang hadir menjawab, “Itu adalah bekas karung-karung tepung yang selalu dipikulnya ke seratus rumah di Madinah ini.”

Orang-orang miskin lidahnya kelu, dan hanya dapat berdoa dalam hati, ketika ribuan lelaki mengiringi jenazahnya menuju tempat terakhirnya. Semuanya bersedih. Kekayaan yang melimpah itu, tak bersisa. Lelaki itu juga membebaskan seribu budak, dan memberikan hartanya kepada mereka.

Begitulah lelaki itu. Sikapnya terhadap kehidupan dunia. Tak lagi menolehnya. Sekalipun, begitu banyak harta yang dimilikinya. Itulah cucu Baginda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, Zainal Abidin, yang sangat mulia. Wallahu’alam.

Rabu, 09 Juni 2010

Gerakan Wahabi: Dulu Dan Sekarang


Wahhabi (bahasa Arab: Al-Wahhābīyya الوهابية) atau Wahhabisme adalah sebuah sekte Islam konservatif berdasarkan ajaran Muhammad bin Abd al-Wahhab, seorang ulama abad ke-18. Wahhabisme adalah bentuk dominan dari gerakan Islam yang tampak nyata di Arab Saudi, meskipun pendukung dan lawan-lawannya menolak sebutan seperti. Gerakan ini telah mengembangkan pengaruh yang cukup besar di dunia Islam melalui pendanaan ke berbagai mesjid, sekolah dan sarana lainnya.

Doktrin utama Wahhabi adalah Tauhid. Ibnu Abdul Wahhab jelas sekali dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibnu Taimiyah dan mempertanyakan interpretasi abad pertengahan terhadap ajaran Islam yang memang saat itu tengah marak di Timur Tengah khususnya. Istilah "Wahhabi" (Wahhābīyah) sendiri pertama kali digunakan oleh para penentang Abdul Wahhab. Hal ini dianggap sebagai penghinaan.

Muhammad bin Abdul Wahab lahir di Najed tahun 1111 H / 1699 M. Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan di antara negara yang pernah disinggahinya adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.

Kemudian pada tahun 1125 H / 1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan aliran Wahabinya.

Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik. Begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya.



Ternyata tidak berrselang lama, firasat itu segera terbukti. Ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah Fir Raddi Alal Wahabiyah.

Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat berisi nasihat. Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunah sampai hari ini adalah kelompok terbesar, dan salah satu dari ajaran yang diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain.

Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah wal jama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.

Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasihat ayahnya dan guru-gurunya itu. Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H / 1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang, dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin.

Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir.

Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian aqidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata: “Tongkatku ini masih lebih baik daripada Muhammad, karena tongkat-ku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali!”



Pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.

Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas.

Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kuburan kaum solihin tersebut.

Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut.