Senin, 30 Juni 2008

Simbol Brotherhood Of The Snake Ada di Jakarta

Brotherhood of the Snake atau Kelompok Persaudaraan Ular, merupakan nama sebuah kelompok pengikut iblis yang paling awal lahir di dunia. Dari berbagai literatur sejarawan Barat, seperti yang ditulis J. Robinson dalam ‘The Secret Society’, kelompok persaudaraan ular inilah yang mengemban misi menyebarkan kesesatan kepada umat manusia sejak zaman Nabi adam a.s. hingga zaman kiwari.
Bahkan diduga kuat jika dari kelompok inilah lahir gerakan-gerakan penyesatan terhadap agama-agama samawi dunia. Kabbalah dan Talmud, sebagai doktrin iblis yang sampai sekarang dipercaya dengan segenap jiwa dan raga oleh kalangan Zionis sebagai pandangan hidup, juga berasal dari kelompok ini.
Di zaman purba, kelompok iblis ini menyempal di banyak pusat peradaban dunia. Mereka menjadi penasehat Raja Namrudz dan menghasut agar Ibrahim a.s. dibunuh. Saat Firaun berkuasa, mereka menamakan diri sebagai para pendeta Amon yang berada di lingkaran elit kekuasaan, lewat salah seorang tokohnya yang bernama Samiri (Shamir), mereka berupaya untuk terus menyesatkan Bani Israil dan menentang Musa a.s.
Di zaman Nabi Isa, kelompok iblis ini menjadi provokator bagi upaya pengejaran yang dilakukan Raja Herodes dan mereka dikenal sebagai para pendeta Sanhendrin. Bagi yang pernah menonton film The Passion of The Christ (disutradarai oleh Mel Gibson yang anti Zionis) yang menuturkan kisah penderitaan Yesus sebelum disalib (menurut versi Barat), kita akan bisa melihat di mana setiap kali kelompok Sanhendrin mencerca dan memaki Yesus, maka iblis selalu menampakkan diri di tengah-tengah kelompok ini.
Ke dalam Yudaisme, mereka merusak Taurat dan membuat Talmud yang dinyatakan mereka sebagai kitab suci yang lebih mulia ketimbang Taurat Musa. Ke dalam ajaran Nabi Isa a.s., mereka mengubah ajaran Isa a.s. yang sebenarnya terbatas hanya untuk kaumnya, menjadi sebuah ajaran yang ekspansif lewat tangan seorang Yahudi dari Tarsus bernama Paulus yang membuat Injil Perjanjian Baru. Ke dalam agama Islam, seorang Yahudi dari Yaman bernama Abdullah bin Saba’ pun bekerja untuk memecah umat tauhid ini menjadi dua golongan: Sunni dan Syiah. Inilah kerja kelompok ular yang sangat memusuhi ajaran yang lurus.
Di mana mereka berada, mereka selalu memberi sinyal keberadaan mereka dengan simbol-simbol ular. Mahkota emas Firaun di depannya ada lambang dua ular. Kuil Laelarium kota maksiat bernama Pompeii yang kemudian dihancurkan Allah lewat meletusnya Gunung Vesuvius namun bukti-bukti keberadaannya masih lestari hingga detik ini, juga terdapat banyak simbol-simbol ular. Demikian pula dengan simbol-simbol para Dewa Matahari yang bertebaran di muka bumi sampai ke Amerika Latin.
Di zaman modern, simbol kelompok ini, dua ekor ular melilit sebuah tongkat bersayap, entah mengapa dijadikan simbol kedokteran internasional.
Dan yang paling terang karena bentuk simbolnya benar-benar menjiplak simbol kelompok ular ini bisa dilihat dari tongkat Hermes, Dewa Yunani Kuno yang dipercaya menjadi kurir antara Tuhan dengan Manusia. Hermes yang merupakan anak dari Zeus dan Maia juga dianggap sebagai dewa perdagangan dan keberuntungan.
Ketika VOC yang merupakan maskapai perdagangan yahudi terbesar di dunia pada masanya menguasai Batavia (Jakarta), mereka meletakkan sebuah patung Hermes lengkap dengan tongkat Brotherhood of The Snake-nya di atas jembatan perempatan Harmoni. Kala itu wilayah Harmoni merupakan wilayah perniagaan terbesar di Batavia dan banyak para pedagang Yahudi berdagang arloji, kacamata, dan juga emas perak serta batu-batu mulia.
Sampai dengan tahun 1999 patung Hermes ini masih tetap berdiri di atas jembatan Harmoni, namun pada tahun itu sempat dikabarkan lenyap dicuri orang. Dinas Kepariwisataan DKI Jakarta menemukannya lalu agar keberadaannya aman, patung Hermes yang asli dipindahkan ke lokasi Museum Fatahillah di dekat Stasiun Beos Kota, Jakarta. Di atas jembatan Harmoni dibuat replikanya.
Apakah dengan demikian berarti kelompok persaudaraan ular ini pernah ada di Jakarta? Wallahu'alam. Yang jelas, jika Anda ingin melihat simbol Brothethood of the Snake dalam bentuk aslinya, silakan mampir ke Museum Fatahillah Jakarta.(rizki)
Sumber : eramuslim

Mengkritisi Peran Fatahillah di Jakarta

Setiap tanggal 22 Juni, warga Jakarta memperingati Hari Jadi Ibukota Negara ini dengan meriah. Biasanya, ada pesta rakyat di Ancol lengkap dengan panggung hiburan dan pesta kembang api. Pada 22 Juni 2008 ini, usia Jakarta sudah 481 tahun. Sebuah usia yang sudah sangat matang namun ironisnya, Jakarta dari hari ke hari kian menjadi kota yang tidak menyenangkan untuk ditinggali. Macet di mana-mana, dan jika hujan sebentar maka banjir pun segera menggenang. Ini hanyalah sedikit di antara setumpuk masalah ibukota negeri ini yang konon dibebaskan oleh seorang dai-pejuang bernama Fatahillah.
Benarkah Fatahillah merupakan seorang ulama yang membebaskan Jakarta? Sejarawan Betawi Drs. Ridwan Saidi menolak keras anggapan ini. “Banyak orang menganggap Fatahillah melakukan dakwah Islam di Jakarta. Ini tidak beralasan dan tidak benar sama sekali. Sebelum Fatahillah datang, sudah ada 3.000 orang Betawi yang Muslim. Bahkan ketika Fatahilah datang menyerbu kota ini, dia bersama pasukannya itu membumi-hanguskan kampung-kampung Muslim Betawi. Ada sekitar 3.000 rumah Muslim Betawi yang dihanguskan.”
“Bagi Muslim Betawi, Fatahillah itu penjahat. Dan tidak benar jika Fatahillah ke Jakara ini dalam rangka dakwah Islam. Ini harus dikoreksi. Saya telah meneliti sekian lama dan tidak pernah sedikit pun menemui sisa-sisa dakwah Fatahillah di kota ini. Sampai sekarang ini rumah orang-orang Betawi biasanya memajang poster Syekh Abdul Qadir al-Jilani atau yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Qadir Jaelani, juga poster Buroq, dan tidak pernah ada rumah orang Betawi memajang poster Fatahillah atau sesuatu yang berbua Cirebon atau Demak. Tradisi Islam yang ada di orang Betawi pun khas, sama sekali tidak ada bau-bau Islamnya Cirebon. Saya berani berdebat dengan siapa saja soal ini!” tegas Ridwan saat mengisi diskusi publik bertema “Meluruskan Sejarah Islam di Indonesia” di IKIP Muhamadiyah Jakarta (28/5).
“Jadi, Fatahillah bukanlah pahlawan umat Islam Indonesia. Dia lebih tepat disebut sebagai pahlawan Muslimnya Cirebon, bukan Muslim Jakarta. Kedatangan Fatahillah berikut pasukannya dari Cirebon pada tahun 1527 semata-mata untuk merebut pelabuhan Kalapa. Ia lalu membangun istana yang dikelilingi tembok tinggi di tepi barat Kali Besar. Orang-orang Betawi yang sudah Muslim saat itu, yang rumahnya berdiri di dekat istananya, diusir dan dibumi hanguskan. Omong kosong besar Fatahillah berdakwah. Jejak dakwahnya sama sekali tidak ada di ranah Betawi, ” lanjut Ridwan.
Ribuan unit rumah Muslim Betawi yang dibakar Fatahillah itu berada di Mandi Racan, Pasar Ikan (lihat De Quoto, 1532).
Sebab itu, Ridwan sangat sedih jika tiap tanggal 22 Juni, pemerintah merayakannya sebagai Hari Lahir Kota Jakarta. “Itu adalah hari pembumi-hangusan ribuan rumah Muslim Betawi. Juga hari terbunuhnya Syahbandar Wak Item yang juga seorang Muslim Betawi, ” ujar Ridwan.
Lantas siapa yang mengIslamkan Jakarta? Menurut penelitian Ridwan, sejak awal abad masehi, sebelum Islam lahir di Jazirah Arab, para pedagang Arab telah melakukan perdagangan di Jakarta sehingga sebelum Islam datang di tanah ini. Ini berarti orang Betawi asli sudah mengenal istilah-istilah Arab sebelum Hindu dan Budha hadir di Jawa. Kerajaan Tarumanegara saja bari berdiri di abad ke V Masehi atau sekiar tahun 400-an Masehi.
“Kata-kata seperti alim, kramat, adat, kubur, dan sebagainya sudah dikenal di Jakarta sebelum Islam lahir di Jazirah Arab, ” tegasnya.
Salah satu buktinya adalah prasasti Batu Jaya di Bekasi, sebelah timur pantai Pakis Jaya yang berumur lebih tua ketimbang situs Tarumanegara. “Di batu-batu itu terdapat ragam hias yang tidak ada sama sekali nuansa India, apalagi Cina. Saya amat terkejut ketika mendapati ragam hias ornamen di Batu Jaya itu lebih mirip ornamen Arab. Ini salah satu bukti saja, masih banyak yang lain, ” ujar Ridwan.
Beberapa sumber yang layak untuk ditelusuri lebih jauh adalah kitab Agryppa dari Claudius Ptelomius, lalu naskah Wangsakerta yang menyebut adanya Krajan (bukan kerajaan) bernama Salakanagara, Aki Tirem, dan sebagainya. “Ini temuan saya dan saya siap berdebat soal Fatahillah ini dengan siapa saja, ” tegas Ridwan. (rizki)
sumber : Eramuslim

Rabu, 11 Juni 2008

Sisi yang Tidak Diekspos Media Tentang FPI

Front Pembela Islam (FPI) sebenarnya sudah lama jadi incaran aliansi musuh Allah SWT yakni kelompok gabungan antara kelompok liberal, kelompok maksiat (prostitusi, perjudian, dan pornografi), kelompok kuffar, dan aparat serta pejabat yang selama ini mendulang uang haram dari perputaran bisnis haram tersebut.
Abdurrahman Wahid saja, gembong kaum liberal dan sekutu Zionis, dengan sangat pede menyatakan jika dirinya sudah 15 tahun berjuang hendak membubarkan FPI. Itu berarti sejak tahun 1993. Padahal FPI baru berdiri tahun 1998. Walau demikian kita hendaknya maklum dengan pernyataannya yang ngawur ini karena memang orang yang sudah kena serangan stroke dua kali biasanya banyak syaraf yang sudah tidak terkoneksi dengan baik. Istilah komputernya sering hang, sehingga harus di-restart atau kalau tidak bisa juga ya di-off-kan saja.
Sejak berdiri pada tahun 1998, FPI memang getol memerangi tempat-tempat maksiat. “Sudah banyak tokoh dan elemen Islam yang menyampaikan amar ma’ruf, maka kami memang mengkhususkan diri pada Nahyi Munkar. Tapi tentu dengan prosedur yang benar secara hukum formal, ” demikian ujar Habib Rizieq.
Keberanian FPI ini dalam menggempur lokasi-lokasi kemaksiatan memang tidak main-main. Rumah-rumah pelacuran, rumah judi, termasuk kantor tempat raja media porno dunia “Playboy”di Jakarta, semua diganyang oleh laskar Islam yang satu ini. Bagi media massa, baik cetak, radio, maupun teve, tindakan FPI tersebut memang merupakan berita yang layak dijadikan tajuk utama. Sayangnya, media-media yang juga banyak disusupi kelompok liberal dan kelompok penyuka kemaksiatan ini yang diekspos adalah kekerasan FPI semata.
Padahal, kekerasan atau penyerbuan yang dilakukan FPI merupakan jalan terakhir yang terpaksa diambil FPI setelah melewati berlapis-lapis prosedur, di antaranya mendesak kepolisian untuk berbuat.
“Media massa hanya mengekspos hal itu, tapi tidak memuat apa yang kami lakukan sebelum itu, ” ujar Habib Rizieq dalam sebuah pertemuan beberapa waktu lalu.
Penyerbuan atau pengrusakkan merupakan langkah terakhir yang diambil FPI setelah melewati tahap-tahap sebelumnya. Habib Rizieq memaparkan, “Jika ada informasi yang menyebutkan di suatu tempat ada lokasi yang tidak beres, maka kami biasanya mengirim intelijen kami yang terdiri dari beberapa orang untuk menggali informasi yang valid. Jika benar itu tempat yang tidak beres, maka ada dua pengelompokkan yang FPI lihat. Jika tempat maksiat itu didukung warga sekitar dalam arti banyak warga sekitar yang mencari nafkah di sana dan menggantungkan hidupnya di sana, maka kami kirim ustadz untuk memberi pencerahan. Ini sisi amar ma’ruf FPI. Kami mendirikan pengajian dan sebagainya.”
“Namun jika tempat maksiat itu ternyata meresahkan warga sekitar, dan banyak yang dilindungi oleh preman terorganisir atau malah ada oknum aparat yang ikut melindungi, maka kami biasanya melayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian agar polisi bisa bersifat pro-aktif. Jika sampai waktu yang kami minta belum ada tindakan apa pun juga dari kepolisian, kami melayangkan surat kembali mendesak agar aparat segera turun tangan. Ini kami lakukan sampai tiga kali. Namun jika aparat ternyata diam terus, tidak menunjukkan itikad baik untuk menyikat kemaksiatan, maka FPI pun segera mengirim surat pemberitahuan bahwa FPI akan mengirim laskarnya ke tempat tersebut untuk membantu tugas kepolisian. Ini semata-mata kami lakukan karena polisi tidak bertindak, ” lanjut Habib.
“Kami membantu tugas kepolisian. Ini patut diberi tekanan. Karena polisi terlalu sibuk sehingga tempat maksiat tersebut tetap berjalan dengan aman dalam meracuni masyarakat, maka laskar kami yang turun. Selain memberi surat kepada polisi, kami pun melayangkan surat pemberitahuan berlapis-lapis kepada pengeloal tempat kemaksiatan itu, dan biasanya mereka membandel karena menganggap polisi saja tidak berani membereskannya, apalagi FPI. Tapi sekali lagi saya tekankan. FPI berjuang untuk menegakkan agama Allah, jadi kami tidak kenal takut terhadap segala kemaksiatan. Mereka yang berada di jalan setan saja berani, masak kami yang berjaung di jalan Allah harus takut?” tegas Habib.
“Sisi inilah yang jarang diekspos media massa sehingga masyarakat banyak tahunya kami ini organisasi anarkis. Padahal kami telah melakukan berlapis-lapis peringatan, bahkan berkoordinasi dengan kepolisian dan sebagainya, ” tambah Habib.
Sebenarnya, media-media massa di negeri ini banyak yang mengetahui hal tersebut. Namun disebabkan mereka memang banyak yang berkepentingan agar FPI bubar, maka yang diberitakan adalah sisi kekerasan dari FPI. Padahal, FPI hanya membantu tugas kepolisian yang terlalu sibuk dengan tugas-tugas rutin seperti “razia” di jalan-jalan dan sebagainya. (rz)
sumber : eramuslim