Jumat, 17 Oktober 2008

Babak baru Ta'lim kita

Sahabat, Teman, dan Saudara ku semua, Ta'lim kita sudah mulai sejak malam jum'at tgl 9 okt 2008, dan puasa Daud kita juga sudah mulai sejak 6 okt 2008.

Jadi mari kita giatkan lagi pencarian ilmu agama ini dengan sepenuh kekuatan jiwa dan raga kita

Insya Allah kita diberikan kekuatan untuk terus mencari ilmu dan menambah Iman kita

Amien ya Robbal Aalamin

Mustahiq Terbaik

Sebenarnya cerita ini sudah cukup lama berlalu, tapi rasanya masih terus terkenang dalam ingatan saya. Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri acara halal bihalal yang diadakan salah satu lembaga zakat infaq di Surabaya.
Tamu yang datang sangat banyak, mungkin karena salah satu pembicaranya ustadz muda gaul yang sering tampil di televisi, ditambah bintang tamu artis sinetron yang cukup terkenal di kalangan ibu-ibu. Acara berjalan seperti umumnya halal bihalal di tempat lain, penuh keakraban dan silaturahmi.
Saya bersyukur tinggal di negara yang mempunyai budaya halal bihalal, karena cukup banyak teman dan sahabat yang sudah setahun lebih tak berjumpa akhirnya tersambung kembali silaturahmi karena acara ini.
Ada satu hal yang sangat menyentuh hati ketika panitia mengumumkan akan dibagikan reward untuk koordinator donatur dan mustahiq (orang yang berhak menerima zakat). Lembaga zakat ini memang sangat tergantung kepada koordinator donatur yang dengan sukarela tanpa pamrih bersedia mengkoordinir sumbangan dari donatur di lingkungan kantor, perumahan, bahkan di atas kapal ferry penyeberangan Surabaya - Madura pun ada.
Bagaimana repotnya mengambil infaq keliling dari satu ruang ke ruang yang lain dalam satu kantor, harus naik turun tangga, belum lagi kalau donatur ternyata belum menyiapkan dananya sehingga besok harus keliling lagi sampai seluruh donasi selesai terjemput.
Untuk yang di perumahan lebih repot lagi, karena jarak yang lumayan jauh tak jarang seorang ibu rumah tangga harus naik sepeda keliling komplek untuk mengumpulkan donasi, sungguh... seandainya bukan karena ingin dicintai Allah pasti tak ada orang yang mau repot-repot melakukan hal ini, karena itu pantaslah jika para koordinator ini mendapat reward.
Lalu siapa koordinator terbaik yang berhak mendapatkannya? ternyata seorang bapak yang setiap bulannya mengkoordinir sumbangan dari 810 orang donatur!!... subhanallah... semoga Allah Yang Maha Memperhitungkan memberi ganjaran pahala yang terbaik atas keikhlasan bapak ini berjuang di jalan Allah.
Selain koordinator, para mustahiq juga tidak ketinggalan mendapat reward. Mereka adalah kaum dhuafa yang tak kenal lelah berjuang menjemput rezeki halal dengan cara yang diridhoi-Nya, meskipun harus menjadi pemulung, tukang sapu jalanan, tukang becak, setidaknya mereka masih punya harga diri untuk tidak menjadi beban bagi saudara-saudaranya dan tidak tergoda untuk mengambil jalan pintas menjemput rezeki dijalan yang dibenci Allah.
Dan ketika reward untuk mustahiq dibagikan, saya hampir tidak dapat menahan genangan air mata karena ternyata penerima reward adalah seorang bapak yang sangat spesial. Dengan tertatih-tatih bapak yang sudah cukup berumur ini berjalan di tengah-tengah hadirin menuju panggung diiringi ratusan pasang mata yang memandang dengan takjub.
Bagaimana tidak, bapak ini berjalan dengan posisi membungkuk seperti sedang rukuk dalam sholat, tapi tahukah anda bahwa dengan segala keterbatasannya beliau adalah perintis sebuah lembaga pendidikan untuk dhuafa mulai jenjang kelompok bermain sampai SMU di sebuah kota kecil di Jawa Timur, dan semua ini beliau rintis dari NOL dimulai dari sebuah TPA (taman pendidikan Al-Quran). Dengan kerja keras tak kenal lelah serta dukungan dari para donatur yang menyalurkan infaqnya ke lembaga zakat inilah akhirnya beliau kini dapat memetik hasilnya.
Sungguh saya malu dengan diri saya sendiri yang belum menghasilkan karya apapun untuk orang lain. Saya masih sibuk berkutat dengan urusan saya sendiri, sibuk menjemput rezeki untuk diri sendiri dan baru sedikit sekali yang bisa saya berikan untuk membantu orangtua.
Ya Allah... berikan hamba kekuatan untuk terus berusaha menjadi hamba yang lebih baik di mata-Mu, agar kehadiran hamba yang dhoif ini bisa memberi manfaat bagi orang-orang di sekitar hamba.

The Best of Me

Panggil 'Yulia', pintaku pada mahkluk mungil berusia delapan belas bulan itu sambil menatapnya dengan sungguh sungguh.'Yuya', itu yang terucap dari mulut mungilnya. 'yulia', ulangku dengan intonasi dan bentuk mulut yang kuperjelas mungkin tiap hurufnya.
'Yuuya', ucapnya dengan mimik yang tak kalah serius, menaikkan alisnya, menengadahkan kepala, dengan membentuk bibir semirip mungkin, seolah ingin tunjukkan bahwa, itu yang terbaik yang dia bisa.Meski tak seperti yang kuharapkan, tapi kupuji juga dia untuk hargai usaha kerasnya.'Pintar', ucapku sambil bertepuk tangan, dan dia pun ikut riang bertepuk tangan.
Itu adalah gambaran sederhana, ketika kita menuntut orang lain untuk berpikir dan bertindak seperti yang kita inginkan, tanpa mempertimbangkan banyak faktor yang mempengaruhi sebuah hasil tercipta.Dan aku, tak jarang seperti itu...
Adik laki-laki bungsuku besok pagi-pagi akan memulai tapak pertamanya merantau di pulau seberang.Menunaikan amanah, beribadah bekerja.Alhamdulillah dengan pekerjaan yang cukup mapan bagi kami yang memang dari kalangan bawah.Memang tak mudah dia mendapatkan amanah ini.Di samping otak titipan Allah yang cukup encer yang dimilikinya.Semangatnya untuk maju dengan terus belajar selalu terlihat dalam kesehariannya.Kelemahan dalam dirinya adalah dia tak terbiasa mengerjakan pekerjaan sehari-hari, juga ibadah yang masih belepotan, yang merupakan basic seseorang dalam hidup mandiri.Saat berpamitan denganku di telepon, tiba-tiba aku berubah menjadi nenek-nenek yang menasehati anak sekolah dasar.Sehingga dia agak risi dan berkata 'aku sudah besar, nanti juga bisa belajar dan beradaptasi dengan teman-teman'
Kira-kira sebulan sebelumnya, kakak laki-laki si bungsu telah mendahului merantau di titik segitiga emas Indonesia.Karena tertarik mendengar cerita tetangga sebelah yang telah mengukir sukses di sana.Meski belum memiliki tujuan pasti dengan minimnya skill yang dia miliki.Berbekal minimnya uang saku dari kami dan sebuah alamat, dia teguhkan niat.Kelebihannya terletak pada kesederhanaan, kerajinannya dalam membantu ibu membantu pekerjaan rumah, dan yang utama adalah ibadahnya yang menonjol di antara dua saudaranya lelaki yang lain.Sebulan sudah dia di sana, pekerjaan tetap belum dia dapatkan.Aku yang juga merantau, merasa khawatir dengan dirinya.'Kenapa nekat ke sana kalau belum ada pekerjaan yang pasti'.'Aku akan tetap terus berusaha, aku sudah besar, aku bisa menjaga diri dan tahu apa yang harus aku lakukan'Bahkan temanku juga menegurku.'Kalau lelaki, apa yang perlu kamu khawatirkan? Memang cuma kamu saja yang bisa merantau, berilah kepercayaan pada adik-adikmu'
Tentu saja mereka benar adanya dan aku yang salah.Bukankah tiap individu adalah sebuah pribadi istimewa dan unik.Tak kan pernah ada kesamaan.Kenapa aku membatasi evolusi seseorang ke jenjang yang lebih dewasa.Dan mereka memiliki cara tersendiri dalam menerapkan jalan pikirannya.Ketika patokan tentang kata sukses telah disepakati yakni, dengan jalan yang tidak berseberangan dengan peta Qur'an Hadist, biarlah mereka tunjukkan dengan cara mereka sendiri.
Sesungguhnya usaha kamu berbeda-beda.(QS.Al-Lail:4)Dalam keseharian juga banyak hal yang menonjolkan keegoisan kita, apalagi kalau telah merasa lebih tua dan berpengalaman.Orang lain seolah terlihat kecil.Padahal bila ditelaah lebih jauh, siapa sih kita ini.Kenapa begitu suka menciptakan jarak dan permusuhan?Menegangkan syaraf, hidup terasa sempit karena merasa semua orang salah dan dirinya yang benar, sehingga orang lain dianggap mengganggu ketenangan jiwanya.
Menerapkan pandangan hidup bahwa kita ini sama saja dengan orang lain.Yang berlomba mencari kebaikan dan hanya menginginkan kebaikan bersama.Berbagi ilmu selain untuk kebaikan orang lain sebenarnya juga demi kebaikan sendiri, karena ilmu hanya bermanfaat bila diamalkan.Memberi kesempatan pada orang lain untuk menunjukkan karya terbaik yang mereka mampu.Buah pikir yang bagus bagaimana bisa terlihat tanpa kesempatan?Bukankah dari dua puluh enam huruf telah tercipta jutaan karya tulis yang bermanfaat? Dari tujuh nada telah terdengar jutaan lagu yang indah?Meski dariekspresi yang berbeda, namun semua karya cipta yang terbaik.Kita semua adalah yang terbaik, karena itu adalah anugerah Allah untuk menciptakan harmoni yang indah dengan perbedaan.
Dan, Katakanlah:'Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya, serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan itu'(QS.At-Taubah:105)
Wallahu'alamu Bishawab
(Selamat belajar dalam mengambil nilai-nilai kehidupan yang sesungguhnya, adik-adikku)

Maafkan Aku Isteriku...

Jumat, 17 Okt 2008 12:39
Emak, saya dibesarkan oleh Emak dengan penuh perhatian. Emaklah yang memandikan saya dan adik-adik hingga saya mampu untuk mandi sendiri. Saya dan adik-adik hanya berbaris di depan sumur lalu Emak menguyur tubuh kami dengan ember yang berisi air yang ditimba dari dalam sumur.
Emaklah yang memakaikan seragam sekolah hingga menyuapi sarapan pagi. Saya hanya tinggal buka mulut, suapan tangan Emak pun masuk ke mulut saya. Lalu Emak akan mengantar kami ke sekolah. Setelah itu Emak kembali ke rumah untuk mengurus Bapak.
Bapak, saya tak pernah dekat dengan Bapak. Bukan karena Bapak saya orang jahat. Bukan karena saya tak pernah mencurahkan gundah di hati saya. Bukan karena Bapak tak pernah memeluk saya dengan hangat. Bukan karena Bapak tak pernah tertawa dengan gurau yang saya lontarkan.
Entahlah hati saya merasa jauh dari Bapak. Kami memang saling menyapa, tetapi semua itu hanya basa-basi. Saya dan Bapak tidak pernah berbicara mengenai perasaan kami. Saya tak pernah mendengar ungkapan cinta dari bibir Bapak. Saat Bapak memeluk, saya merasa dipeluk oleh mahluk asing. Hambar, tak ada gejolak.
Berbeda ketika Emak memeluk saya. Saya merasa begitu damai dan aman. Saya seperti mendengar nyanyian merdu dari dalam dadanya. Tubuhnya begitu hangat membuat saya betah berlama-lama dalam pelukan Emak sehabis mandi pagi.
Pada Emaklah saya banyak bercerita. Tentang sekolah dan teman-teman saya. Juga saat pertama kali saya suka pada teman wanita saya. Emak mengajarkan saya banyak hal. Tetapi Emak tak pernah mengajarkan saya pekerjaan rumah. Emak bilang itu pekerjaan perempuan.
Bapak, tak pernah mengajari saya. Bapak memberikan hadiah sepeda tetapi tidak mengajari saya naik sepeda. Bapak membelikan saya kelereng, tetapi tidak mengajari saya cara menggunakannya. Bapak membelikan saya layangan tetapi tidak menemani saya bermain layangan. Hanya Bapak sering berkata bahwa saya tidak boleh cengeng. Lelaki tidak boleh menangis. Jadi laki-laki harus kuat dan tegar.
Saya sering memperhatikan Emak mencuci piring. Melihat busa yang dihasilkan oleh sabun colek yang Emak pakai. Saya ingin membantu Emak agar saya dapat bermain dengan sabun tersebut. Tetapi Emak melarang saya, malah Emak meminta saya untuk bermain layangan dengan teman-teman saya di depan rumah.
Saya ingin membantu Emak di dapur, tetapi lagi-lagi Emak berkata itu pekerjaan perempuan. Malang sekali perempuan, pikir saya saat itu. Apalagi saya tak pernah melihat Bapak membantu Emak mengurus kami ataupun membantu Emak di rumah. Semuanya dilakukan oleh Emak. Kata Emak karena Bapak sudah capek bekerja mencari uang, lagi pula semua itu tugas perempuan.
Suatu ketika saat bermain kelereng saya berkelahi dengan seorang anak lelaki seusia saya. Tetapi badannya lebih kecil. Saya pukul dia hingga badannya babak beluk. Teman-teman saya tidak ada yang memisahkan kami. Bahkan mereka menyemangati kami. Hingga akhirnya Bapak anak yang saya pukul datang lalu memisahkan kami.
"Anak siapa kamu?! Anak kurang ajar! Dimana Ibumu?!" Lelaki itu menghardik saya. Lalu membawa saya pulang. Dia pun menghardik Emak. Katanya Emak tidak becus mengurus dan mendidik saya hingga saya menjadi anak kurang ajar. Rasanya saya ingin menghajar lelaki tersebut yang berani memaki Emak.
Kasihan Emak. Sejak saat itu saya tak nakal lagi. Saya tak ingin Emak yang disalahkan karena kenakalan saya. Tak ingin Bapak marah pada Emak karena perbuatan saya.
Saya mulai beranjak remaja, di sekolah saya sering menjadi juara kelas. Bapak datang mengambil rapor saya. Bapak dipuja oleh kepala sekolah dihadapan orangtua yang lainnya. Saya pun bertanya dalam hati, mengapa Bapak yang dipuja ketika saya berprestasi. Bukankah Emak yang telah mengajari saya?
Setamat SMA saya melanjutkan kuliah di kota lain. Saya mulai aktif di kegiatan masjid. Saya mulai belajar tentang agama saya. Juga mengenai peran perempuan yang sebenarnya. Tidak seperti yang selama ini saya dapat dari Emak. Dan Emak mendapatkannya dari nenek saya.
Ketika musim libur saya kembali ke rumah. Di rumah Emak mengurus saya sama seperti saya waktu kecil. Saya ingin menolaknya. Tetapi setiap kali melihat kebahagian di mata Emak saat menghidangkan makanan di hadapan saya, keinginan tersebut lenyap. Begitu juga saat saya ingin membantu Emak membersihkan rumah. Emak melarang saya dan meminta saya duduk di serambi rumah dengan Bapak. Hati saya merasa tak nyaman melihat Emak bekerja sementara Bapak hanya duduk sambil menghisap rokok ditemani secangkir kopi.Tetapi saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya pun memenuhi permintaan Emak duduk di sebelah Bapak, tetapi kami hanya saling membisu. Seperti dua mahluk yang berbeda, tak tahu harus berkata apa.
Setelah saya selesai kuliah, saya pun menikah dengan teman kuliah saya yang berasal dari kota yang sama. Seperti Emak, isteri saya mengurus saya dan rumah dengan baik. Walaupun dia juga bekerja sebagai karyawati di sebuah perusahaan. Saya mulai merasakan sesuatu yang salah dalam diri saya. Rasanya saya sudah terbiasa hidup dilayani. Saya sudah terbiasa hidup seperti raja, walaupun saya tahu itu tidak benar. Seharusnya saya membantu isteri saya di rumah, tetapi saya tidak terbiasa untuk itu. Dari kecil saya tidak dilatih untuk mengerjakan pekerjaan rumah.
Isteri saya tidak pernah mengeluh, walaupun saya tahu tubuhnya sangat letih. Dia selalu berkata ingin menjadi isteri yang baik. "Isteri harus berbakti dan melayani suami," pesan ibu mertua pada isteri saya.
Saat anak pertama saya lahir, ada rasa bahagia dan takut dalam diri saya. Entahlah saya takut tak dapat mendidiknya dengan baik. Apalagi saya tak pernah melihat Bapak mengajari kami ataupun menasehati kami tentang kehidupan. Saya tak tahu harus mencontoh siapa dalam mendidik putra saya.
Setelah melahirkan, isteri saya tinggal di rumah, mendapat cuti dari kantornya. Dia pun merawat bayi kami dengan baik. Malam hari ketika bayi kami menangis, isteri saya berusaha menenangkan tanggisan tersebut. Bayi kami dibawa keluar kamar. Isteri saya tak ingin tidur saya terganggu dengan tanggisan tersebut. Ketika saya ingin menenangkan bayi kami, isteri saya meminta saya kembali tidur. Dengan alasan besok saya harus masuk kerja, sedangkan dia tak perlu ke kantor. Saya pun menurut, lagi pula saya memang ngantuk. Saya tak pernah berusaha meyakinkan isteri saya. Mungkin karena ada perasaan aneh saat saya harus mengurus bayi, atau karena saya sudah merasa keenakan dengan kebaikan isteri saya.
Isteri saya telah habis masa cutinya, tetapi perhatian pada bayi kami tidak berkurang. Dia tetap memberikan ASI. Saat pulang dari kantor isteri saya datang membawa ASI yang disimpan dalam botol-botol kecil. Walaupun isteri saya harus lembur tak lupa dia dengan kebutuhan bayi kami.
Hari itu, isteri saya pulang terlambat. Saya sudah terlelap tidur saat dia datang. Sedangkan bayi kami diurus oleh pengasuhnya sampai isteri saya datang. Isteri saya kembali ke rumah dalam keadaan sangat letih. Bayi kami menangis malam itu. Seperti biasa isteri saya bangun untuk menenangkan bayi kami. Tidak seperti biasanya malam itu isteri saya membiarkan bayi kami tetap berada di kamar sedangkan dia keluar untuk mengambil botol susu.
Saya baru saja akan terlelap dalam mimpi ketika saya mendengar teriakan dan dentuman dari arah tangga rumah kami. Segera saya loncat dari tempat tidur menuju suara tersebut. Jantung saya berpacu cepat seketika saat melihat di bawah tangga isteri saya tergeletak tak bergerak. Saya berusaha membangunkannya tetapi dia tidak juga bergerak. Rupanya ketika dalam keadaan letih, ngantuk dia berjalan dalam ruangan gelap menabrak ujung tangga dan terpeleset jatuh. Kepalanya menghantam tangga hingga ke lantai satu.
Setelah tak sadarkan diri selama lima hari, isteri saya pun pergi menghadapNya. Saya hanya dapat menyesali diri. Saya menyesal tidak membantu isteri saya dalam mengurus bayi kami malam itu. Padahal saya bisa memberikan ASI dalam botol tersebut. Saya tahu tugas sayalah melindungi isteri dan bayi kami. Tetapi mengapa saya ragu? Kini saya tak tahu bagaimana merawat dan membesarkan bayi. Bagaimana mendidiknya kelak. Saya tak pernah punya contoh. Isteriku, maafkan aku.

Jumat, 10 Oktober 2008